Dibalik kaca jendela
tembus pandang rfenumahku, aku memandang titik-titik air yang turun dari
hamparan awan yang juga menyelimuti. Aku menyukainya. Menyukai fenomena yang terjadi selama 6 bulan dalam
setahun. Fenomena yang didalamnya terdapat untaian kisah masa laluku. Masa
kecil ?
Mungkin hal seperti
hujan-hujan bersama tanpa memedulikan kerasnya suara Guntur jarang terjadi di
kota. Namun, di desa kami hal seperti itu merupakan hal yang lumrah.
Tak jarang berita
tentang guntur yang mematikan terdengar di kalangan ibu-ibu dan membuat mereka
melarang kami untuk bermain dengan air hujan dan hanya mampu memanyunkan bibir
seperti yang saat ini kulakukan. Oh.. aku benar-benar merasakannya lagi.
Inilah rasanya hujan di
kampung sendiri. Berbeda dengan kota tempat aku menuntut pendidikan di
perguruan tinggi.Aroma dan suara fenomena sang Maha Pencipta tak dapat
kurasakan. Inilah yang kurindukan.Aroma yang membuatku ingin terus merasakannya
sambil menutup mata sejenak.
Namun, aku takut suara
hujan. Aku membencinya. Suaranya selalu mengingatkanku pada peristiwa yang
menyiksa sahabatku. Dia dipukuli ibu tirinya yang menyebabkannya pernah ada
dalam keadaan koma . Ibu tirinya benar-benar kejam. 2 tahun ia terbaring lemah
dirumah sakit dengan alat-alat bentu napas yang selalu menemaninya. Sampai
akhirnya sekarang. Kami masih bisa menikmati hujan bersama.
Kualihkan pandanganku
untuk menatapnya. Matanya masih menatap hujan dan mengeluarkan air mata itu.
Kurengkuh tubuhnya dan kami menangis bersama. Itu salahku. Kenapa aku tak
mendengarnya ketika dia sedang menjerit ?
Inilah suka duka
bersama hujan. Hujan yang mengangkat sudut bibir dan kembali melepaskannya.
0 komentar:
Posting Komentar