About Me

About Me
Munere veritus fierent cu sed, congue altera mea te, ex clita eripuit evertitur duo. Legendos tractatos honestatis ad mel. Legendos tractatos honestatis ad mel. , click here →

Rabu, 25 Mei 2016

10 HARI

Dia sahabatku. Saat ini berada disampingku. Menikmati jus jeruk yang kami buat beberapa menit yang lalu sambil bercanda.

Itu tawa yang selalu kurindukan. Tawa yang saat ini terasa nyata.Kenyataan bahwa dia pulang benar-benar membuatku senang.

Namun, kenyataan lain juga membuatku kecewa. Dia datang untuk 10 hari kedepan. 10 hariku yang sibuk. Dan kemungkinan kami bertemu hanya kecil. Sangat kecil.

Ya Tuhan… Aku benar-benar ingin menemaninya selama 10 hari ke depan. Tertawa bersamanya. 10 hari yang sempurna.

Mengapa dia harus pulang disaat seperti ini ? Tentu saja. Karena dia menuntut ilmu di pondok pesantren. Bulan Ramadhan harus dilakukan dengan amalan lebih.

Aku juga ingin seperti itu dengan dia yang berada di sampingku. Bukan hanya bulan ramadhan bersama orang-orang yang berteman dengan telepon genggam. Atau dengan orang yang yang menghabiskan waktu berbuka bersama kekasihnya. Benar-benar menjijikkan.

“Maaf . Selama 10 hari ini aku tidak bisa selalu menemanimu”aku tertunduk.
Kurasakan dia memelukku, “ Dan maafkan aku karena aku tidak bisa menemanimu seperti ramadhan-rmadhan tahun-tahun yang lalu”

Aku menangis. Tak ingin hal itu terjadi. Ramadhanku tak akan seperti dulu. Walaupun ada teman lagi yang sepertinya. Yang sekarang juga berada di pondok pesantren yang berbeda dengannya dan akan datang pada bulan ramadhan.

Tapi tidak seperti sahabatku yang akan meninggalkanku 10 hari lagi ini. Dia masih seorang yang sangat akrab dengan telepon genggam.

Berbeda dengan sahabatku yang hanya akan memegang telepon genggam untuk hal-hal penting. Sahabat yang tak bisa berbicara tentang cinta.

Bahkan tetesan air mata ikut berpartisipasi dalam penulisan curhatan ini. ~~~~~~~            

Kepercayaan

Pertama kali aku bertemu dengannya. Berkenalan. Dia orang baru yang aku harus beradaptasi dengannya. Dia tersenyum. Dan aku tahu itu adalah senyuman palsu untuk menarik perhatian orang lain. Agar dia mampu beradaptasi.

Aku juga tengah tersenyum palsu seperti yang mereka lakukan. Member kesan terbaik pada pertemuan pertama. Itulah yang belum membuatku percaya pada mereka.

Waktu berlalu dan kami sering menghabiskan waktu bersama. Bahkan mereka telah  menampilkan sifat aslinya. Tanpa senyuman aneh itu lagi. Kadang wajah sinis juga bisa aku lihat.

Mereka membuat peraturan-peraturan yang harus kami taati. Oh ayolah.. Siapa mereka ? ya siapa lagi kalau bukan sebagian dari kami yang punya wajah seorang penguasa ?  Aku tahu selamanya tak akan seperti itu. Suatu saat, semuanya akan terbalik. Aku Percaya itu.

Lalu kenapa aku menerima peraturan yang mereka buat ? yang jelas karena aku mempercayai mereka. Aku menginginkan yang terbaik. Dan aku yakin mereka bisa melakukannya.


Hingga suatu ketika kepercayaanku kepada mereka. Hal itu juga baru kuketahui akhir-akhir ini. Mereka curang. Aku membencinya. Tak bisa percaya sepenuhnya kepada mereka lagi.

HUJAN

Dibalik kaca jendela tembus pandang rfenumahku, aku memandang titik-titik air yang turun dari hamparan awan yang juga menyelimuti. Aku menyukainya. Menyukai  fenomena yang terjadi selama 6 bulan dalam setahun. Fenomena yang didalamnya terdapat untaian kisah masa laluku. Masa kecil ?

Mungkin hal seperti hujan-hujan bersama tanpa memedulikan kerasnya suara Guntur jarang terjadi di kota. Namun, di desa kami hal seperti itu merupakan hal yang lumrah.

Tak jarang berita tentang guntur yang mematikan terdengar di kalangan ibu-ibu dan membuat mereka melarang kami untuk bermain dengan air hujan dan hanya mampu memanyunkan bibir seperti yang saat ini kulakukan. Oh.. aku benar-benar merasakannya lagi.

Inilah rasanya hujan di kampung sendiri. Berbeda dengan kota tempat aku menuntut pendidikan di perguruan tinggi.Aroma dan suara fenomena sang Maha Pencipta tak dapat kurasakan. Inilah yang kurindukan.Aroma yang membuatku ingin terus merasakannya sambil menutup mata sejenak.

Namun, aku takut suara hujan. Aku membencinya. Suaranya selalu mengingatkanku pada peristiwa yang menyiksa sahabatku. Dia dipukuli ibu tirinya yang menyebabkannya pernah ada dalam keadaan koma . Ibu tirinya benar-benar kejam. 2 tahun ia terbaring lemah dirumah sakit dengan alat-alat bentu napas yang selalu menemaninya. Sampai akhirnya sekarang. Kami masih bisa menikmati hujan bersama.

Kualihkan pandanganku untuk menatapnya. Matanya masih menatap hujan dan mengeluarkan air mata itu. Kurengkuh tubuhnya dan kami menangis bersama. Itu salahku. Kenapa aku tak mendengarnya ketika dia sedang menjerit ?


Inilah suka duka bersama hujan. Hujan yang mengangkat sudut bibir dan kembali melepaskannya.

De Javu

Kejutan di hari ulang tahunku ini benar benar membuatku bahagia, semua orang yang kusayangi hadir. Bahkan dia yang diam-diam kusukai.

Namun lihatlah dia. Hanya duduk di sudut rungan ini tanpa mmengucapkan kata selamat ulang tahun padaku.Kenapa dia mau datang ke acaraku ini jika dia merasa kebosanan seperti itu ?

Acara inti akan segera dimulai. Aku sudah berada di belakang kue ulang tahunku untuk meniup lilin.Namun, kuedarkan pandanganku untuk mencari sosoknya. Kemana dia ? Apakah dia sudah pulang bahkan saat acara inti belum dimulai ? Benar-benar tidak sopan.

Seperti itulah dia. Pendiam dan tidak peduli dengan orang lain. Aku bahkan tak tahu mengapa aku benar-benar mengaguminya.

Disekolah dia hanya datang-belajar-pulang. Tak pernah kulihat dia bergaul dengan teman-teman lain. Seperti dia yang kulihat sebelum acara inti ini akn dimulai. Dia yang duduk sendiri tanpa seorang teman.

Menatap kue dihadapanku ketika lagu “selamat ulang tahun selesai dilantunkan yang membuatku harus segera meniup lilin dengan angka 17 itu.

Tiba-tiba lampu padam. Hanya cahaya dari lilin yang belum sempat ku tiup itu masih menyala. 

Terdengar suara teman-teman perempuanku yang menjerit. Aku takut. Kemana kedua orang tuaku yang tadi berada di belakangku ?

Hingga cahaya lilin lain mencul dari arah dapur. Kulihat ayah dan ibuku berdiri sambil memegang lilin kecil dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun untukku. Ada seseorang lagi dibelakang mereka. Aku seperti mengenalnya.

Kemudian orang itu berjalan mendahului kedua orang tuaku. Berjalan kearahku. Meraih tanganku dan berlutut padaku.

“Maukah kamu menjadi pacarku ?” mataku membelalak. Aku tak percaya dengan keadaan ini. Dia yang aku sukai diam-diam. Dan mungkin dia telah membicarakan hal ini dengan orang tuaku karena kulihat saat ini mereka tengah tersenyum kearah kami.


Aku seperti pernah mengalami hal ini. Entah itu di alam bewah sadarku. Seperti rentetan kaset yang ingin kutonton saat rusak dan saat ini benar kutonton, De Javu.

Sabtu, 21 Mei 2016

JANGAN KE-GR-AN

Sering kujumpai dia menatapku. Kemudian mengalihkan pandangannya saat pandangan kami saling bertemu. Pernah juga kami saling  tersenyum . Namun, aku segera mengalihkan pandanganku.

Sering dia menyapaku lewat sosial media. Berawal dari sapaan-sapaan kecil yang membuat kami lebih dekat hingga saat ini. Ketika berpapasan pada dunia nyata, saling acuh dan seolah tak mengenal.

Sering dia menggodaku seperti menggoda teman-temanku yang lain. Memberikan candaan-candaan lucu yang membuatku tertawa. Tanpa menyadari bahwa candaan yang dia berikan padaku adalah candaan yang berbeda.

Itu bukan hanya rangkaian penulisan satu kisah.  Ini kisah tiga orang yang bercerita padaku. Namun, aku masih tak percaya jika ini nyata. Kisah mellow cinta tidak hanya terjadi dalam drama-drama romance. Tapi juga nyata.

·         Dari tempat duduknya, Lila mengamati sekeliling. Tempat ini masih sepi. Kelasnya masih sepi. Hanya duduk dan membolak-balik buku untuk pelajaran hari ini. Bukan hanya membolak-balik mengingat bahwa ia merupakan siswa pintar disini.
Hingga Kelas mulai ramai dan hampir semua siswa telah datang ia masih dengan kegiatannya dan sesekali melirik kearah pintu kelas.Hingga guru dating.Seseorang yang ditunggunya belum dating.
Hingga pintu terbuka kembali dan menampilkan dua sosok yang tentunya telah dikenang di kelas ini. Mereka terlambat. Dapat terlihat disana, salah seorang yang tengah dihukum dan saat ini berdiri di depan kelas memusatkan pandangannya pada suatu tiitk.Dia Lila. Yang kemudian terlihat juga memandang sosok itu.
Itu terjadi selama beberapa waktu dan Lila sangat bahagia. Rasa itu akhirnya tersampaikan. Namun, ia masih belum bisa mengungkapkannya pada siapapun.
Hingga seorang teman yang dekat dengannya mengatakan “Aku pacaran sama Tara” dan membuat Lila terkejut. Ternyata, selama ini yang terus ditatap oleh sosok  yang di kagumi diam-diam itu adalah teman yang bertempat duduk diampingnya. Teman yang membuatnya selalu tertawa. Benar-benar miris.



·         Berawal dari pertemuan tak disengaja, pertemuan yang disangka oleh Frida adalah sebuah tekdir. Hingga orang yang sama itumenampakkan akunnya pada akun sosmed milik Fida.
Frida tersenyum lantas mengonfirmasi permintaan Angga. Sosok yang menarik perhatiannya.
Ternyata Angga adalah sosok yang benar-benar baik. Sering memberikannya semangat atas hal yang positif dan memberikannya informasi yang bermanfaat.
Sampai saat Frida dan Angga berkirim pesan dan Angga menyatakan “Kamu adik yang lucu” seketika itu Frida merasa telah mempercayai hal yang salah. Salah menganggap sesuatu.
Dan beberapa hari Frida tahu dari salah satu temannyabahwa Angga telah memiliki  kekasih yang telah bersamanya selama 1 tahun.



·         Dia Doni. Seorang anak laki-laki yang sering menggoda Tika. Membuat Tika jengkel, kadang marah, dan kadang hampir menangis.
Itu semua Doni lakukan karena suatu alasan. Namun, ketika Tika menangis, ia merasa bersalah.
Namun, jauh dari itu semua, Tika menyukai Doni karena candaannya.
Hingga pada suatu masa SMA, Tika bertemu lagi dengan Doni.  Namun, dia berubah seperti berandalan. Tika benar-benar membencinya.

Dia terlihat kejam, tidak lucu seperti dulu. Rasa yang telah lama ia simpan untuk Doni itu menguap begitu saja.

Rabu, 18 Mei 2016

Dia

Dia yang berbeda. Dia yang selalu ada untukku. Dia yang tidak mau mengenal cinta.

Aku mengenalnya telah sangat lama. Sejak kami sama-sama belum mengenal huruf. Sejak aku belum tau arti sebuah kesulitan.

Dia lebih kuat dariku. Pernah dia rapuh beberapa kali. Tapi, dia selalu bisa bangkit dan kembali menenangkanku saat aku rapuh.

Pernah aku berpikir jika dia saat ini benar-benar sendiri. Tapi dia mengatakan bahwa di masih memilikiku. Aku merasa bodoh saat itu. Aku tak tahu jika ada orang yang bukan dari anggota keluargaku benar-benar mempercayaiku.

Keluargaku juga begitu. Lebih mempercayainya dibandingkan teman-temanku yang lain. Karena dialah yang berbeda. Ketika orang tuaku melihatnya tertawa, mereka tersenyum. Bahkan sesekali menggodanya.

Namun, sampai saat ini aku tak pernah berani bertanya tentang dirinya. Aku takut dia menangis dan bersedih.

Aku mengenali gerak-geriknya jika dia akan menangis. Dia akan terdiam dan tidak mau berbicara sekalipun.

Pernah dia mendiamkanku. Aku selalu minta maaf setiap waktu. Entah kenapa aku seperti itu. Padahal dia selalu menyapaku. Dan saat tawanya muncul, aku baru merasa lega. Dia telah kembali. Dia telah berhasil menyelesaikan masalahnya.

Tentang rasa baru untuk remaja, aku yakin dia punya alasan tertentu. Selalu menghindar jika membicarakan hal itu.

Aku selalu menyayanginya. Bersamanya aku merasa bahagia.

Aku merindukannya. Karena saat ini kami sedang jauh. Ingin aku menemuinya, namun waktu selalu menghalanginya.

Biarlah waktu juga yang mempertemukan kami lagi.

Dia sahabatku.Dan sekali lagi kutegaskan bahwa aku menyayanginya.

Senin, 16 Mei 2016

Phobia

Dipojokan ruangan ini aku bersembunyi. Bukan karena aku takut. Namun, hanyakarena aku tak mampu melihat dan mendengar semuanya. Saling menyakiti dengan kata-kata.

Apa mereka tak tahu jika saat ini, dibangunan yang sama dengan mereka, ada seorang gadis kecil yang bersembunyi karena tak mampu berkata ? Untuk apa dulu mereka bersatu kalau hanya untuk saling melukai ? Mengapa aku lahir jika mereka terus seperti ini ?

Namun, kubulatkan tekatku. Berlari menghampiri seorang wanita yang telah sedikit rapuh yang kini sedang bersimpuh di lantai. Menenangkannya. Diatas kursi ada seorang lelaki yang sedang menghisap rokoknya.

Kali ini aku mengatakan jika aku membencinya. Entah apa yang tealah ia berikan padaku dulu seperti menguap dari ingatanku.

Dua hari berselang. Semuanya tampak tak pernah terjadi. Wanita yangkupanggil ibu itu masih melakukan kegiatannya seperti biasa. Bahkan saat ini ia telah tersenyum dengan orang yang dua hari lalu menyakiti hatinya.

Apakah ia sudah melupakannya ? Kejadian dua hari yanglalu itu bukanlahkejadian yang baru pertama kali aku lihat. Sering aku melihatnya. Salingmenyakiti,kemudian  saling tersenyum dan bertegur sapa. Saling menyakiti, salingtersenyum dan bertegur sapa. Lagi, dan lagi.

Aku juga pernah berfikir. Untuk apa mereka bersama ? Apa sebuah rasa yangtelah begitu familiar dan sering telontar dari mulut orang-orang itu yang membuatnya ? Lalu mengapa jika ada rasa itu mereka harus salling menyakiti ?

Kini aku bahkan telah berusia 17 tahun saat itu. Namun, kejadian yang sama masih terus berulang, dan mereka tidak pernah memikirkan pengaruh hal itu untukku.

Dari lingkunganku lah karakterku dibentuk. Sifat orang tuaku juga mengalirdalam diriku.Aku adalah gadis yang lembut, selalu mengalah,dan tak pernah mengeluh. Akutakut. Kali ini aku harus mengatakannya. Karakterku yang penakut padasetiap laki-laki bahkan teman sekelasku itu dibentuk oleh ayahku.Aku tak pernah mengeluh dihadapannya. Bahkan jika aku merasakan ada sesuatu yang berbeda pada tubuhku. Ibuku pun juga begitu. Kami takut jika lelakiyang tinggal serumah dengan kami tahu. Lelaki itu akan memulai dengan kata-kata pedasnya yang membuat kami kalah telak.

Di tahun ke 17, aku masih tak mau merasakan rasa yang saat ini dirasakanoleh teman-temanku. Aku hanya berbicara seperlunya dengan makhluk itu.Makhluk yang menyakiti ibuku dan membuatnya tersenyum.

Aku bahkan bingung dengan apa yang dilakukan teman-temanku. Bersama dan berpisah.Aku benar-benar membenci rasa yang mereka agung-agungkan itu.

 Aku berjanji baru akan memikirkan sebuah hubungan dengan seorang yang bukan muhrimku ketika aku telah mampuberpikir dengan berpegang teguh pada kitab tuhanku. Al-Qur’an.

Tahukah kalian siapa orang yang bisa membuatku melupakan luka yang pernahdirasakan ibuku ?Dia adalah seorang laki-laki dari kalangan sederhana dengan hati yang lembut serta berpegang teguh pada kitab kami dan apapun yang Allah sampaikan.

Perkenalan singkat kami yang saat itu aku lupakan terasa mendebarkan bilaharus kuingat saat ini.
“Aku Faiz. Kita berada dijurusan yang sama” kalimatsingkat itu yangmembuat kami seperti ini.

 Kami tak merasa apapun selama beberapa waktu. Aku hanya menganggapnya teman. Aku benar-benar terkejut saat dia datang kerumahku bersama orang tuanya.Membawa kitab suci umat Islam dan memberikannya padaku.
“Aku ingin kau selalu menemaniku”
Dia yang irit bicara dan selalu tersenyum.Dia yang membuatku berdebar.

Aku yang saat ini telah berusia 24 tahunbenar-benar merasa seperti seorang remaja yang barusaja diberikan sebatang coklat oleh orang yang disukainya.

Dia yang mampu meruntuhkan dinding kokohyang telah kubuat. Dia yang membuatku melupakan kenangan buruk yang itu.

Kenangan bersama orang tua yang kini terus tersenyum diusia mereka. Tanpa adanya kata-kata kasar seperti dulu.Kejadian inilah yang membuatku menyadari hal itu. Aku memiliki rasapadanya. Rasa yang tak mau kusebut cinta. Karena cinta yang diucapkan para remaja itu tak sebanding dengan apa yang kurasakan saat ini.

Rabu, 11 Mei 2016

Aku, Mimpi, dan Rasa (prolog)

Memandang kota dari bukit ini membuatku mengingat sebuah masa. Semilir angin membuatku merasa benar-benar kembali ke masa itu. Perasaan kami sering berubah pada saat itu, tangis dan amarah tak dapat dicegah.

***

Inilah aku. Tanpa seorang teman disini. Entah mengapa aku selalu sendirian. Apakah mereka jijik dengan penampilanku ? ataukah mereka malu berteman dengan orang dari kalangan bawah sepertiku ? atau mereka tak mampu menyesuaikan diri denganku ? Aku selalu berusaha mendekati mereka, bahkan membantu mereka sebisa mungkin.
Namun, kini aku menyerah. Menjadi diri sendiri dan memfokuskan seluruh diriku pada masa depanku mungkin jauh lebih baik. Merekapun juga harus seperti itu. Mereka akan tergantikan dengan “mereka” yang baru pada masa itu.
            Kuhempaskan tubuhku di kursi ini. Tempat ini sepi. Seperti biasanya. Kubuka lembaran-lembaran yang telah dijilid rapi yang saat ini kugenggam sambil sesekali membenarkan letak kacamataku. Aku memang tak terlalu pintar. Tapi inilah usahaku untuk menghindari mereka.
Kutatap keluar. Seseorang berjalan menuju tempat ini. Siswa berkacamata itu datang lagi. Kuyakin setelah dia sampai disini dia pasti akan duduk disampingku dan merecokiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak kumengerti.
“Maaf, kami udah punya buku latihan ujian ?”

“Sudah” inilah aku. Meskipun aku tak terlalu suka dengannya, aku selalu menjawab seluruh pertanyaannya yang kadang tidak kumengerti.